Sebuah Ulasan: Laut Bercerita

Nadhira Fasya Ghasani
4 min readJan 16, 2021
Photo by YUCAR FotoGrafik on Unsplash

Mari kita mulai dengan tekad menuliskan ulasan secara penuh dengan Bahasa Indonesia. Tergugah karena buku ini karangan seorang sastrawan kenamaan Indonesia, Leila Salika Chudori. Ini adalah kali pertama aku membaca karangan beliau. Padahal namanya sudah terbang mengangkasa di jagat literasi Indonesia. Laut Bercerita, sudah aku incar sejak terbit pertama kali. Baru sekarang akhirnya terpenuhi. Apalagi kalau bukan karena langganan Gramedia Digital yang hanya 45 ribu sebulan dan bebas membaca sebanyak mungkin buku fiksi yang ada di koleksi mereka (Indonesia maupun terjemahan luar).

Hmmmm bingung mulai darimana, karena begitu banyak yang terbersit selama membaca buku ini dengan sudut pandang yang berbeda-beda. Sepertinya menarik jika berbicara tentang pengarang dan gaya bahasanya. Sungguh, menurutku Leila S. Chudori sangat apik, detail, dan deskriptif dalam menuliskan kalimat demi kalimat. Sejelas itu hingga dengan sangat mudah kata-kata dapat dikonstruksi menjadi imaji visual dalam otak. Awalnya sampai terpikir…..

“Oh jadi pengarang kayanya harus punya banyak pengalaman banget yaaa supaya bener-bener bisa menceritakan setiap momen senyata mungkin”

“Dia hidupnya gimana ya kok bisa tahu detail-detail kehidupan yang kaya gini?”

Untungnya pertanyaan-pertanyaan diatas terjawab pada bagian “Ucapan Terima Kasih” diujung buku. Ternyata proses mendapatkan kedetailan tersebuh sungguh panjang, rumit, dan melibatkan banyak orang. Agak bodoh sih padahal riset itu proses utama dalam setiap proses menulis (kaya ga pernah nulis skripsi aja deh). Benar-benar ada narasumber untuk setiap tokoh, setiap lokasi, setiap kejadian yang menjadi nyawa Laut Bercerita.

Ada satu gaya menulis yang menurutku dimiliki penulis kaliber Indonesia seperti beliau dan Eka Kurniawan. Mereka senang menggunakan alur maju mundur tanpa membuat bingung walaupun perpindahan alur tersebut tanpa aba-aba. Begitu juga dengan perpindahan sosok pencerita. Dalam karya Leila satu ini aku sedikit mendapatkan gambaran sosok beliau dalam sosok Laut. Ketertarikan-ketertarikan Laut ternyata mengadopsi ketertarikan sosok Leila sendiri. Kesimpulan ini aku dapatkan ketika membaca sedikit biografi beliau di situsnya.

Setelah ini aku semakin penasaran dengar karya beliau yang lain. Sesungguhnya sudah ada “Pulang” di daftar bacaku setelahnya. Namun sepertinya dengan tema yang mirip-mirip Laut Bercerita, aku akan berkelana ke karya lainnya terlebih dahulu, 9 dari Nadira. Tentu saja ada tambahan ketertarikan karena serupa dengan namaku haha.

Ide besar kisah ini berangkat dari aksi Kamisan, yang masih selalu ada setiap Kamis di depan Istana Merdeka. Laut Bercerita berpusat pada satu keluarga dengan empat orang. Laut si Sulung, Asmara si Bungsu, Bapak dan Ibu. Ada dua bagian besar dalam kisah ini. Bagian pertama dari sudut pandang Laut dan kedua dari sudut pandang Asmara.

Laut mencerminkan optimisme, semangat yang menggebu-gebu, keadilan, perjuangan, dan bertahan hidup. Aku rasa ini adalah kata kuncinya. Laut adalah anak kuliahan di Yogyakarta, bersama teman-temannya senang berdiskusi hal-hal patriotik demi membela kaum kecil. Tahun 1996, diskusi semacam itu dianggap ekstrim oleh pemerintah dan cikal bakal pemberontakan (ya ga salah sih karena ini juga yang mereka lakukan).

Merasa bisa sedikit simpati dengan yang Laut rasakan, karena dulu aku sendiri sempat bergabung dengan Kementerian Sosial Politik dalam kabinet kampus. Kami juga melakukan demonstrasi dan perlawanan pada pemerintah untuk beberapa kasus. Yang paling membekas pada memoriku adalah kasus Kereta Cepat Indonesia China, yang sekarang sudah aku abaikan bagaimana keberjalanannya. Tidak seperti Laut yang tekadnya sekeras berlian, aku dengan mudah melupakan isu-isu serupa begitu lepas dari wadah tersebut. Sekarang hanya sebatas mengikuti berita, melempar opini di sosial media, dan memberi donasi saja bisaku.

Kerasnya teror dan permainan mental yang dialami Laut dan kawan-kawan diselingi kisah hangat keluarga, persahabatan anak kosan, dan romansa. Membuat semuanya terasa lebih humanis. Mengingatkan apa yang menjadikan manusia, manusia. Banyak adegan kekerasan, lagi-lagi diceritakan dengan cukup detail, yang membuatku bergidik. Semakin membuat merinding begitu tahu detail-detail tersebut berangkat dari pengalaman seorang penyintas penculikan pada akhir masa orde baru.

Transisi dari Laut ke Asmara merupakan alur paling penting di buku ini. Tidak akan aku ceritakan mengapa, biarlah kalian merasakannya sendiri nanti kalau membaca haha. Kalau Laut mengalami siksa fisik, Asmara mengalami siksa jiwa. Asmara selalu berada di persimpangan, antara masa sekarang dan masa lalu, harapan dan realita, peduli dan abai, kabur dan tinggal, menyerah dan berjuang. Nyaris bisa dikatakan dia melalui itu semua sendirian. Semua tokoh pada poin ini berjuang menghadapi musuhnya masing-masing dalam diri mereka. Sangat sulit membaginya dengan yang lain, hanya ujung gunung es yang dapat mereka perlihatkan.

Jelasnya setiap kalimat membawa petaka sendiri untukku. Siksaan jiwa ini tidak hanya untuk Asmara, tetapi juga untukku. Bulir dan derai air mata sudah pasti singgah. Tidak jarang aku sengaja berhenti membaca karena merasa terlalu sesak dan butuh emosiku kembali netral. Di saat yang sama aku juga ingin cepat-cepat menyelesaikan buku ini. Aku juga ingin siksa ini cepat selesai sambil masih menaruh harap untuk sebuah cahaya di akhir kisah. Sejujurnya harapan itu sendiri bisa dianggap sebagai cahaya lilin, tetapi aku berharap terangnya matahari. Cahaya lilin tersebut membesar menjadi lampu yang menerangi satu ruangan. Tidak seperti yang diharapkan, tetapi cukup untuk melanjutkan hidup.

Seperti yang dilakukan Leila dengan buku ini, aku ingin mengucapkan bela sungkawa (terlambat 23 tahun aku tahu) dan menitipkan semangat kepada setiap keluarga yang masih rutin berdiri dibawah terik matahari setiap Kamis di depan Istana. Sebelumnya aku tidak pernah terbayang betapa “hilang” jauh lebih sakit dan lebih pedih. Ah pokoknya siksaan paling berat untuk manusia yang sejatinya sangat bergantung pada konstruk hubungan dengan manusia lain. Entah berapa lama lagi dibutuhkan hingga akhirnya ada petinggi yang akan mengusut kasus Kamisan dan dengan itu turut serta melindungi kita semua dari kejadian serupa. Sampai itu terjadi, aku rasa kita semua harus menjaga api keadilan dalam diri masing-masing. Takut kalau sewaktu-waktu harus ada yang kembali menjadi Laut dan kawan-kawan. Amit-amit.

--

--